Kosmopolitanisme; sebagai bentuk Harmoni Sosial


Sumber: Aliexpress
Syahdan, tanggal 17 Agustus nanti negara yang bernama Indonesia ini akan menginjakkan umur kemerdekaan yang ke-74 tahun ditahun 2019 ini. Bagaimanakah keadaan Indonesia saat ini? Apakah sel-sel dalam tubuh yang bernama Indonesia ini berbaur dengan romantis, sehingga harmoni sosial seyogyanya sudah tercipta di Indonesia yang akan menginjak umur ke-74 ini. Atau malah sebaliknya.

Kenyataan yang bisa dilihat untuk tubuh Indonesia adalah, radikalisme sekte-sekte agama yang konservatif-fundamentalisme yang semakin eksis, atau kaum minoritas yang semakin menjerit, atau hegemoni budaya dan pendidikan semakin merajarela. Gejala-gejala tersebut pada hakikatnya bisa terjadi, akibat manusia-manusia Indonesia sebagian besar masih menganut pandangan Universalisme dan Partikularisme dewasa ini. Lalu seperti apakah definisi dan gambaran mengenai pandangan Universalisme dan Partikulturalisme itu?

Gejala Universalisme dan Partikularisme
Universalisme (universalism) secara garis besar berdefinisi 'keseragaman yang kuat'. Menurut definisi lengkapnya, Universalisme adalah percaya keberadaan unsur universal dalam hidup manusia yang begitu kuat. Secara sepintas pandang, definisi tersebut terlihat tidak menimbulkan gejala keburukan bagi lingkungan sosial, malah terbilang bagus, sebab menandakan keseragaman yang kuat dan menghasilkan tertib sosial. Padahal menurut Reza A.A. Wattimena, Universalisme adalah gejala yang menimbulkan harmoni sosial tidak berjalan dan vakum, sebab dibelakang itu Universalisme dapat menyembunyikan jejak penindasan. Sebagaimana contoh Universalisme di Indonesia adalah pada zaman Orde Baru lalu, masyarakat digiring untuk berseragam dalam pemikirannya dan ketika pemikirannya berbeda dengan yang lain, maka pemikiran yang berbeda tersebut ditindas, sebagai alasan ketertiban sosial. Sesudah reformasi pun, akar Universalisme  masih kuat di masyarakat Indonesia ini. Contoh daripada itu adalah hegemoni dalam pendidikan, terutama pemakaian seragam pada jenjang Taman Kanak-kanak (TK) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), yang hal ini memberikan dampak buruk bagi pelajarnya. Sekilas hal tersebut mengajarkan kesetaraan dan ketertiban sosial, tapi ketika mereka sudah membaur dikhalayak masyaraka mereka pasif yang berkepanjangan, karena tidak lagi merasa terseragamkan; karena sesudah masuk pada khalayak masyaraka, keseragaman akan berubah menjadi keberbedaan yang mencolok sekali. Sehingga sulit sekali menerima kenyataan dari mereka kelas bawah melihat kelas atas. Itulah fakta hegemoni Universalisme yang memberikan gambaran kesetaraan dan ketertiban sosial jangka pendek bagi masyarakat Indonesia.

Sedangkan, Partikulalisme (particulalism) secara garis besar berdefinisi 'egoisme yang kuat'. Menurut definisi gamblangnya Partikulalisme adalah percaya keberadaan unsur keberagaman dan keberagaman tersebut harus kuat atau ditonjolkan. Definisi tersebut hampir senada dengan Multikulturalisme (multiculturalism), itu memang benar --- dan hal tersebut adalah gejala yang menimbulkan krburukan bagi lingkungan sosial juga. Partikulalisme dan Multikulturalisme dilingkungan sosial sudah menjadi paham yang sudah semestinya didoktrinkan dari generasi ke generasi, baik itu dilingkungan sosial sempit seperti sekolah, atau lingkungan sosial luas seperti khalayak masyarakat. Hal tersebut dipandang baik, sebab memunculkan ide keberagaman. Akan tetapi, pada praktiknya, Partikulalisme dan Multikulturalisme membekaskan cara hidup khusus dianggap mutlak, sehingga cara hidup lain dianggap salah dan ditindas atau dikucilkan. Sebagaimana contohnya, akibat masyarakat menerapkan pandangan pada dirinya sikap Partikularisme dan Multikulturalisme, dampaknya sekte agama yang mayoritas harus dihargai, karena ke-mayoritasannya. Sehingga, ketika agama mayoritas merayakan hari-hari besarnya, mereka dengan dalih harus toleransi ingin sekali merasa dihargai oleh agama minoritas. Akan tetapi, ketika agama minoritas merayakan hari besarnya, agama mayoritas enggan-tak sudi ikut berpartisipasi untuk merayakan sebagai bentuk saling menghargai --- malah berdalih (mereka yang mayoritas), bahwa sesungguhnya yang merayakan agama itu (pihak minoritas) mereka jadi golongannya atau "kafir". Seolah-olah sikap ini senada dengan pendapat dari Reza A.A. Wattimena yang mengatakan: klaim satu tafsir agama tertentu dianggap kebeneran mutlak tidak boleh dipertanyakan. Nalar sehat dan toleransi seolah lenyap dari peredaran. Buahnya adalah ketegangan dan kekerasan didalam hidup bersama.

Contoh lainnya, ketika agama mayoritas merajai kedudukkan disuatu negara, maupun dipandang historis ataupun realitasnya, seperti di Indonesia. Mereka dengan sikap tidak toleran, mengajukkan peraturan agamanya (mayoritas) dibuat menjadi peraturan negara. Ini tentunya secara tidak langsung, tidak menghormati mereka yang minoritas. Dan begitu juga dalam dimensi lainnya.

Kosmopolitanisme sebagai solusi
Solusi dari gejala diatas hanya bisa ditangani dengan satu pandangan agar tercifta harmoni sosial yang hakiki, yaitu dengan konsep pandangan Kosmopolitanisme.

Kosmopolitanisme (cosmopolitabism) adalah pandangan yang percaya bahwa masyarakat atau manusia itu saling membutuhkan dan ketergantungan sangat erat dan kuat. Menurut Reza A.A. Wattimena dalam bukunya yang berjudul, Globalization: Citizenship and its Challenger, Cosmopolitanism as an Alternative Paradigm Internasion Relations (2017), definisi lengkap Kosmopolitanisme berasal dari kata kosmopolites yang berarti warga negara semesta. Di dalam kata ini terkandung pemahaman, bahwa manusia bukanlah semata anggota dari negara atau bangsa tertentu, tetapi ia, yang pertama dan terutama, adalah warga semesta. Kehadirannya tidak lebih tinggi dan tidak terpisah dari berbagai mahluk hidup lainnya. Sebaliknya, keberadaannya amat tergantung dari keberadaan mahluk hidup lainnya.

Inti pandangan dari Kosmopolitanisme adalah manusia mempunyai hakikat yang sama sebagai manusia itu sendiri dan manusia tersebut saling ketergantungan dengan manusia lainnya tanpa penghalang antara agama, suku, ras dan adat. Sebuah contoh apabila kita menerapkan pandangan Kosmopolitanisme, dalam sebuah pendidikan misalnya, pelajar bebas berekspresi dari mulai pakaian sampai pikiran. Artinya, kalau pelajar belajar dari jenjang paling bawah sampai atas dengan konsep perbedaan seperti pakaian, maka kebiasaan ini akan terbiasa dilingkungan sosial luas, yaitu di khalayak masyarakat. Sehingga tidak akan menimbulkan ketegangan di sebabkan oleh perbedaan apapun --- walaupun itu antara kelas bawah dan kelas atas. Hal tersebut harus bisa menjadi konsep pendidikan agar tercipta sebuah harmoni sosial yang kuat walaupun dalam bentuk perbedaan. Contoh lainnya, pada ranah agama, ketika sekte agama saling merayakan satu sama lain sebagai bentuk saling menghargai. Maka harmoni sosial akan tercipta dengan langgeung, tidak akan ada ketegangan antar agama apapun di Indonesia ini. Dan itu, bukan hanya antar agama, perbedaan-perbedaan lainnya juga harus bisa menghargainya mulai dari pemikiran sampai praktiknya.



Hadiana lahir pada tanggal 19 Desember 2000. Mengenyam pendidikan di SD Negeri 3 Cigedug, SMP Negeri 1 Cikajang--SMP Negeri 2 Bungbulang, MA Ashshidiqiyyah--SMA Negeri 7 Garut. Sekarang Hadiana menjalani kehidupannya dengan mengelola Komunitas Baca Kakilangit.

0 Response to "Kosmopolitanisme; sebagai bentuk Harmoni Sosial "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Sari Roti

Minuman